Sabtu, 06 November 2010

SIBLING RIVALRY

si odong dan si iding
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Setiap bayi yang baru lahir kedunia dikelilingi oleh sebuah keluarga, baik keluarga dengan orang tua tunggal maupun keluarga besar (Wijayarini dan Peter, 2005). Keluarga adalah system individu yang berinteraksi dengan subsistem yang didalamnya terjadi proses sosialisasi anak dengan orang tua (Santrock, 2007). Cakrawala anak tidak seterusnya terbatas pada hubungannya dengan orangtua, ia harus belajar menyesuaikan diri dengan oranglain dan waktu bermain dengan anak-anak yang lain ia belajar memberi dan menerima dari kehidupan (Pattinasorany, 2005).
Lahirnya adik baru merupakan suatu permasalahan bagi anak sulung, dimana anak sulung harus membagi rasa cinta, kasih sayang dan perhatian orangtua kepada adiknya (Kail, 2001). Menurut Merilo (1988) dalam Wijayarini dan Peter (2005) dikatakan ibu yang menantikan anak kedua memiliki kekhawatiran yang berbeda pada masa hamil. Mereka mungkin memiliki perasaan yang belum diselesaikan tentang persalinan pertamanya. Mereka mungkin begitu memperhatikan anak pertamanya, sehingga mereka tidak segembira saat melahirkan anak yang pertama dan mereka lebih sedikit memikirkan anak keduanya pada kehamilan kali ini. Mereka khawatir akan reaksi anak pertamanya terhadap kelahiran saudaranya dan sadar akan terjadi perubahan hubungan dengan anak pertamanya jika anak keduanya lahir. Menurut Setiawati dan Zulkaida (2007) Kelahiran adik bagi bagi anak pertama atau anak sulung dapat memunculkan berbagai macam kecemburuan atau persaingan yang berbeda satu sama lainnya. Namun demikian, anak-anak pada umumnya dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan situasi pada usia yang lebih dini dalam lingkungan keluarga karena hadirnya saudara laki-laki dan perempuan yang juga mengajukan tuntutan kepada orang tua (Pattinasorany, 2005).
Pada masa anak usia sekolah sikap hidup yang egosentris diganti dengan sikap zakelik obyektif dan empiris (Ahmadi dan Sholeh, 2005). Pada masa ini secara relative anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya (Suryabrata, 2004). Anak-anak usia ini yang berumur 7-8 tahun lebih tunduk pada kelompoknya daripada kepada orangtua, guru, maupun kehendaknya sendiri (Rumini dan Sundari, 2004). Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini antara lain ; ingin jadi orang yang punya kekuatan besar/ berkuasa, ada kecenderungan memuji diri sendiri, suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, kecenderungan meremehkan anak-anak lain (Suryabrata, 2004). Menurut Ahmadi dan Sholeh (2005) jiwa anak pada masa sekolah ini adanya sifat kejam terhadap oranglain, kekejaman ini biasanya ditunjukan kepada orang yang invalid, ia mengejek kepada orang yang lemah, memiliki kekurangan. Sedangkan menurut Rumini dan Sundari (2004) Pola emosi pada masa ini antara lain ; anak cemburu karena perhatian orang tua beralih kepada orang lain, misalnya adiknya yang baru lahir dan anak sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki orang lain. Ungkapan iri hati ialah ; mengeluh tentang barang yang dimiliki, mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang orang lain dan mengambil benda yang ingin dimilikinya. Kecemburuan atau persaingan yang terjadi pada saudara kandung biasa disebut dengan sibling rivalry (Setiawati dan Zulkaida, 2007).
Pengertian Sibling rivalry menurut Shaffer (2002) adalah suatu kompetisi, kecemburuan, dan kebencian antara saudara kandung yang seringkali muncul saat hadirnya saudara yang lebih muda. Sedangkan menurut kamus kedokteran Dorland (2008) Sibling Rivalry adalah kompetisi antara saudara kandung untuk mendapatkan cinta kasih, afeksi dan perhatian dari satu kedua orang tuanya, atau untuk mendapatkan pengakuan atau suatu yang lebih.
Reaksi sibling rivalry dapat diekspresikan dengan berbagai macam cara antara lain dengan cara agresif (memukul, melukai adik ), dan regresi (suka mengompol dan menjadi rewel/ manja) dengan berekspresi memandangi adiknya dengan tajam, menggunakan bibir, menangis, serta menjadi pendiam (priatna dan yulia, 2006). Anak biasanya mengungkapkan dengan hal-hal yang tidak terduga-duga seperti merebut mainan atau makanan adiknya dengan kasar, menggigit, mencakar, memarahinya, membentak, bahkan ada kakak yang memaki adiknya dengan kasar (Setiawati dan Zulkaida, 2007). Anak yang lebih tua dapat memperlihatkan respon yang berkisar dari penyangkalan kelahiran saudara kandung tersebut melalui tingkah laku agresif, seperti mengompol dan buang air besar, involuter, sampai menerima peristiwa tersebut dengan bahagia (Behrman dan Vaughan, 2000).
Menurut Mulyadi (2000) Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya Sibling Rivalry antara lain adalah perhatian orang tua yang terbagi dengan oranglain, favouritisme orang tua terhadap satu anak, pengalihan rasa kesal anak terhadap orang tua, dan kurangnya pemahaman diri anak. Kadang-kadang salah satu dari beberapa orang saudara kandung secara tidak disadari diberikan peranan oleh salah satu atau kedua orangtua yang melibatkan anak tersebut dalam suatu perselisihan diantara mereka (Behrman dan Vaughan, 2000).
Menurut Setiawati dan Zulkaida (2007) Hal yang dapat orang tua lakukan untuk memperkecil Sibling Rivalry, antara lain : mempersiapkan anak akan kelahiran adik, instroperksi diri, menanamkan pendidikan pada diri anak, diskusi dengan anak dan memberikan sanksi yang sesuai. Menurut Puspitasari (2009) Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi frekuensi maupun intensitas terjadinya Sibling Rivalry, yaitu : libatkan anak dalam mempersiapkan kelahiran adik, beri setiap anak perhatian dan cinta yang khusus dan istimewa, jangan membanding-bandingkan anak, jangan menjadikan anak sebagai pengasuh adiknya, buatlah pembagian tugas rumah masing-masing anak, kembangkan dan ajarkan anak bersikap empati dan memperhatikan saudaranya yang lain.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain sangat penting bagi terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari dengan pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmojo, 2002).
2. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan yang tercakup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2002) yaitu;
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam tingkat ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain; menyebutkan, menguraikan, memberi contoh dan sebagainya. Misalnya ibu dapat menyebutkan tujuan pemberian stimulasi bahasa bagi anak.
b. Memahami (Compreshension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan, materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa pemberian stimulasi itu penting diberikan.
c. Aplikasi (Application)
Diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi riil. Aplikasi disini dapat diuraikan aplikasi atau menggunakan hukum – hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya ibu selalu mengajak anaknya berbicara dengan benar.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja; dapat menggambar (membuat bagan), mengelompokkan, membedakan, memisahkan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesisi)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis ini merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari formulasi – formulasi yang ada. Misalnya; dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan – rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian – penilaian ini berdasarkan suatu kriteria – kriteria yang telah ada. Dapat membandingkan antara anak yang mengalami keterlambatan dengan yang tidak mengalami keterlambatan dalam hal kemampuan bahasa.
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Berdasarkan pendapat beberapa ahli bahwa tingkat pengetahuan bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a. Pengalaman
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman, baik dari pengalaman pribadi atau dari pengalaman orang lain. Pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Semua pengalaman pribadi dapat merupakan sumber kebenaran pengetahuan, begitu juga pengalaman orang lain asalkan kita dapat mengambil kesimpulan dengan benar dan dapat berpikir secara kritis dan logis. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua pengalaman pribadi dapat menuntun seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar (Syamsuddin, 2000).
b. Pendidikan
Dalam arti luas dijelaskan bahwa pendidikan mencakup seluruh proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya baik secara formal maupun non formal (Syamsuddin, 2000). Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pengetahuan, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003).
c. Informasi
Informasi diperoleh melalui komunikasi, dengan memperoleh informasi akan menguatkan keyakinan untuk mencapai tujuan. Isi komunikasi yang relevan dengan sikap akan mungkin diterima individu apabila tercakup dalam batas penerimaan yang berada disekitar sikap seseorang (Azwar, 2003).
4. Metode pengukuran tingkat pengetahuan
Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmojo, 2003).

B. Sikap
1. Pengertian
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2003).
2. Komponen sikap
Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003), sikap mempunyai tiga komponen pokok, antara lain : kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu obyek.
3. Ciri-ciri sikap
Menurut Gerungan (1988) dalam Notoatmodjo (2007), ciri-ciri sikap adalah :
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.
b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang apabila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek.
d. Obyek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.
e. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan.


4. Pembentukan sikap
Sikap dapat dibentuk atau berubah melalui macam-macam cara, yaitu Purwanto (1991) dalam Notoatmodjo (2007) :
a. Adopsi
b. Diferensiasi
c. Integrasi
d. Trauma
5. Faktor-faktor pembentukan sikap
Menurut Notoatmodjo (2007), Pembentukan sikap tidak terjadi demikian saja, melainkan suatu proses tertentu, melalui kontak sosial terus menerus antara individu dengan individu lain disekitarnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap adalah :
a. Faktor interna, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan sendiri, seperti selektif.
b. Faktor eksterna yang merupakan faktor di luar manusia yaitu :
1). Sifat obyek yang dijadikan sasaran sikap.
2). Kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap.
3). Sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut, media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap, situasi pada saat sikap dibentuk.
6. Tingkatan sikap
Seperti pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan (Notoatmodjo, 2003) yaitu :

a. Menerima
Diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
c. Menghargai
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar